WASIOR
“Menyalahkan takdir hanyalah ilusi atas penderitaan manusia karena Tuhan senantiasa mencintai mereka yang tertindas.”
Nestapa. Barangkali kata ini cukup tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat. Bencana alam berupa banjir harus mereka reguk akibat dari keserakahan manusia, menghabisi hutan. Tak lengkap bila hanya berkutat pada banjir belaka. Keadilan yang mereka dambakan sebagai ekses peristiwa pada 2001 masih juga jauh di awang. Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini cukup mewakili kondisi warga Wasior saat ini.
Senin, 4 Oktober pukul 08.00 WIT. Ketenangan warga Wasior terenggut. Banjir bandang merenggut ketentraman setelah sempat terusik ketika peristiwa kekerasan 13 Juni 2001 meletus. Terjangan air bah menjungkirbalikkan dan merendam semua yang dilaluinya. Mobil, motor, truk, dan apa pun yang diterjang seketika berubah posisi dan terendam lumpur. Malapetaka yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan akan melanda bumi pijakannya.
Korban jiwa pun berjatuhan oleh amukan alam, yang ditengarai, akibat ulah manusia ini. Posko Kesehatan Penanganan Korban Bencana Wasior di Papua mencatat, per 6 Oktober 2010, sebanyak 72 orang tewas, 66 orang hilang, 461 orang luka-luka, dan 56 orang luka berat akibat banjir bandang ini. Ribuan penduduk lainnya harus mengungsi karena “surga” mereka turut hancur juga. Ditambah lagi dengan lambatnya mitigasi bencana oleh pemerintah dalam peristiwa ini. Lengkap sudah penderitaan saudara kita di Wasior.
Buruknya mitigasi bencana di Wasior membuktikan lemahnya koordinasi dalam penanganan bencana alam. Dalam teori mitigasi bencana, tindakan tanggap darurat dilakukan secepatnya pasca kejadian. Bukan lagi bicara hitungan hari dalam persoalan ini, harus berpatokan pada jam, bahkan menit andai saja bisa dilakukan. Tak pelak, lambannya penanganan bencana berdampak pada semakin menderitanya korban. Sungguh tragis keadaan ini karena terjadi di wilayah (Indonesia) yang sudah jelas daerah rawan bencana.
Memang, tak elok bila dalam situasi demikian menyalahkan satu sama lain sebagai penanggungjawab. Namun, mau tak mau, harus ada pihak yang bertanggungjawab dalam hal ini, terutama dalam soal mitigasi bencana. Bagaimana pun juga, korban tetap lah manusia. Hak mereka sebagai manusia seutuhnya harus tetap dipenuhi dalam keadaan apa pun. Siapa pun tak boleh berkelit dalam hal ini, terutama negara cq. Pemerintah sebagai pengelola negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar